Suatu sore si Sulung berkata, "Kenapa Bunda tidak bekerja kantoran atau menjadi pegawai seperti ibunya Tasya? Kayaknya keren tiap pagi mengantar anak ke sekolah sambil dia berangkat kerja, kelihatan sibuk dan memakai setelan seragam kantor!"
Hmm..hmm.. pikiran yang sama terintas di benakku sewaktu aku kecil dulu. Melihat setiap hari Tante sebelah rumah selalu necis dengan setelan jas kantor dan lipstik merah mengulas bibirnya. Aku (kecil) selalu terkagum-kagum dan berandai-andai jika aku besar nanti aku ingin jadi pegawai kantoran, tidak seperti Ibuku yang selalu di rumah! Ah..ah.., aku tersenyum dalam hati. Tak ada bedanya pandangan sekilas seorang anak terhadap sesuatu hal.
Dengan tenang kujawab, "Enak mana : Bunda kerja dari pagi sampai sore, buru-buru berangkat pagi - pulang sore kecapekan, kamu pulang sekolah nggak bertemu Bunda atau Bunda santai-santai bangun pagi, senam sebentar, trus siapin air mandi hangat plus sarapan di meja. Bunda juga masih sempat nge-cek PR, buku penghubungmu. Seharian di rumah Bunda urus rumah, eh...sempat tidur siang juga. Sorenya, siapin makan malam, ngajarin kamu terus tinggal nunggu di ruang praktek - pasien datang untuk diperiksa. Bunda nggak perlu repot keluar rumah, bukan? Terus...suka mana : "Tiap hari harus pakai seragam kerja atau baju dan kerudung warna-warni kayak Bunda?"
Si sulung tampak berpikir...dan menjawab, "Iya deh, terserah Bunda!"
Ha..ha.., aku menang!
Lain waktu, si Tengah menyampaikan idenya sepulangnya dari menginap di rumah Tantenya yang berjualan kue. "Kenapa sih Bunda nggak bikin kue aja kayak Tante D? Tiap hari dijual terus dapet uang! 'Kan asyik tiap hari pegang uang banyak!"
Aduh, anakku...! Sederhana sekali pikirannya! Ada uang - ada barang, tiap hari jualan- tiap hari dapat uang! Pastilah dia belum mengerti tentang modal, biaya produksi, untung, rugi.
Maka kujawab, "Lha, Bunda 'kan tiap hari memeriksa, merawat pasien juga dapat uang? Tidak harus Bunda berjualan kue, repot-repot belepotan adonan, menjaga oven dan kompor berjam-jam. Bunda hanya harus berjaga dari jam 5 sampai jam 9 untuk merawat dan memberi obat kepada pasien!"
"Bunda suka jadi Dokter Gigi?" Si Tengah bertanya lagi.
"Alhamdulillah suka. Bisa menolong orang, membantu menghilangkan sakit gigi mereka, memberi informasi kesehatan, eh...dibayar juga! Senang,dong!"
"Wah, kalau besar aku juga mau jadi dokter!" katanya sambil berlalu.
Aku juara lagi!
Antara sapu ... |
"Nila, kamu nggak pengen sekolah lagi? Ambil es-pe (Spesialis) atau S2, gitu? Asyik lho, sekolah lagi!" kata teman-teman yang di kala itu tengah melanjutkan keilmuannya.
Atau teman-teman yang menjadi pegawai Puskesmas, "Kamu nggak coba-coba daftar ujian CPNS, Nil?"
Dan bahkan seorang ibu tetangga nyeletuk, "Wah, anak saya begitu lulus langsung masuk ke Rumah Sakit ternama, loh!"
Serta adik-adik lelakiku yang berkarir cemerlang menyarankan, "Hayoo, mbak... masukkan lamaran ke instansi ini dan itu, Rumah Sakit ini dan itu!"
Terhenyak dihadapkan kenyataan :
"Kita tidak punya uang yang sangat berlebih untuk biaya kuliahmu!" (jawab si Abi saat aku mengutarakan niat ingin sekolah lagi)
"Anak-anak sangat butuh biaya persiapan sekolah, membeli susu, kontrol ke Dokter kalau sakit."
Memang betul, 'kan?
Aku pun hanya setengah hati saat menyiapkan berkas-berkas untuk ujian CPNS setelah si Abi menanyakan, "Nanti anak-anak siapa yang urus? Mau dijadikan anak pembantu? Mereka 'kan masih kecil-kecil!"
Dan aku pun berdo'a dalam hati agar aku tidak lulus ujian. Terkabul!
dan Dental instrument... |
Tidak juga sekali atau dua kali tapi berkali-kali aku mencuri-curi menulis (tanpa sepengetahuan si Abi) surat lamaran ke banyak Rumah Sakit atau Poliklinik namun kemudian aku urungkan dan kubuang saja, hanya karena aku merasa damai melihat anak-anak tengah tertidur lelap setelah begitu lelah seharian beraktifitas dengan keceriaan mereka.
Tak ada salahnya ketika teman-temanku, adik-adikku ingin melihatku atau ingin aku ikut merasakan karir dan keberhasilan di luar rumah. Mendapat gaji, memperoleh kedudukan, pertemanan luas, nama yang terkenal...impian setiap orang, bukan?
Tapi mengertikah,,, bahwa aku lebih memilih kucel dengan 'seragam' daster, memegang sapu dan berkutat dengan setumpuk cucian kotor agar aku bisa dekat dengan anak-anakku? Aku pun punya banyak waktu di rumah hanya untuk mengajari mereka membaca dan mengaji atau sekedar nonton film kartun.
Mengertikah, bahwa aku lebih bisa bekerja dengan hati merawat pasien-pasien yang datang tanpa kuatir akan target 'jumlah kunjungan per bulan' atau dijatuhi 'surat peringatan' karena performa kerja yang menurun...?
Hidup dan jalannya memang banyak pilihan. Aku memilih jalan ini.
Jangan salahkan aku ketika beberapa pasien bertanya, "Kalau pagi dinas di mana, Dok?"
Dan aku menjawab, "Kalau pagi saya jadi Ibu Rumah Tangga!"